- -

Cerita Abah

Oleh : Nely Izzatul

Aku berusaha memejamkan mataku sekali lagi. Siapa tahu kali ini aku akan mengantuk dan tertidur. Tapi kenyataannya tidak. Aku tak bisa tertidur dan masih terngiang suara-suara cemoohan masa lalu. Hari ini tepat tujuh tahun lalu. Suara-suara memekakkan gendang telinga bertebaran di luar rumah.

“Koruptor! Pemakan gaji buta! Kepala sekolah korup!”.

Saat ini aku hanya bisa mengelus dada. Siapakah yang memakan gaji buta sebenarnya? Siapakah yang ingin mendapatkan kekuasaan sebenarnya? Tiba-tiba aku teringat larik puisi Emha Ainun Najib.

Langkah kita mengabdi pada nafsu sendiri.

Yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri.

Loyang disangka emas. Emasnya dibuang-buang.


Kita makin buta, mana utara, mana selatan.

Yang kecil dibesarkan. Yang besar diremehkan.

Yang penting disepelekan. Yang sepele diutamakan.

*****

Malam itu gerimis kecil menyerbu kampungku. Namun semua berbanding terbalik bagi Ibuku. Bukan hanya gerimis kecil menyerbu, lebih dari itu buliran bening berjatuhan deras dari kedua mata Ibu. Aku tidak tahu kenapa. Saat itu aku masih 11 tahun. Dan aku hanya bisa memandang kesedihan orang-orang. Lantas tidak tahu apa yang harus aku lakukan. 

“Aku gak kuat rasane, Yuk. Aku merasa ujian tak henti-hentinya menghadang keluargaku. Mulai dari anakku yang sakit semenjak dari pesantren, dan sekarang ini dengar Abahnya dituduh korupsi. Korupsi apa? Buat apa? Toh selama ini aku juga membantunya bekerja”. Adu Ibu pada Makdhe-ku.

“Kemarin, keadaan memang benar-benar panas, Mbak. Akang benar-benar dipojokkan. Entah apa memang rapat panas ini sudah direncanakan. Bahkan yang aku kagetkan, ketika rapat akan diakhiri tiba-tiba gerombolan pemuda kampung berkumpul di depan Sekolah. Teriak-teriak, berdemonstrasi, mencaci-maki dan menuduh akang korupsi”. jawab Maklik-ku.

*****

Abah seorang lelaki sederhana. Se-sederhana pula dengan kehidupan kita. Raut wajah saat ini sama sekali tak menandakan bahwa Abah dulu terlahir dari keluarga berada. Beliau hanyalah anak kampung yang berkawan jauh dengan nasib “beruntung”. Masih setia dengan gagang kayu sebagai pemikul rumput. Berkawan dengan ternak-ternak di kandang. Namun tak pernah lekang dan patah arang untuk memperjuangkan kampung halaman.

“Aku yakin, kalau Abah sekolah tinggi-tinggi pasti tak kalah dengan Buya Syafi’i, bahkan Amien Ra’is sekalipun” suatu ketika kakakku berkata dan Abah hanya tersenyum.

Meskipun pernah melanglang buana ke luar Jawa, namun Abah adalah lelaki yang setia pada kampung halamannya. Abah pernah menjadi Da’i yang diutus ke luar pulau. Ke Timor-timur, Kalimantan, dan NTT. Namun kecintaannya pada kampung halaman (atau mungkin nasib) mengharuskannya kembali ke kota ini.

Tahun 1996 Abah menjabat kepala sekolah di kampung halamanku. Kecintaannya terhadap kampung halaman memang tak bisa ditakar. Itu bisa dibuktikan dengan peran beliau di kampung. Mencerdaskan generasi, mengurus organisasi, mempelopori berdirinya Taman Pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyyah, bahkan merintis pembelajaran untuk Bapak-bapak dan Ibu-ibu Keaksaraan Fungsional (KF). Semua itu satu tujuan. Agar kebodohan sirna dari kampung halaman.

*****

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat”(QS. Nuh ; 6-8)

Cinta Abah terhadap kampung halaman yang begitu besarnya, ternyata terasa tiada guna. Tahun 2005 Abah didemo pemuda desa. Abah diserbu di Sekolah, bahkan pemuda-pemuda itupun menyerbu rumahku. Berteriak-teriak lancang di depan rumah. Abah dituduh korupsi dan menggelapkan uang sekolah. Aku yakin, itu tidak mungkin.

Aku yakin Abah tak pernah punya uang bernominal besar. Lalu uang korupsi buat apa? Abah juga tak pernah kasih aku uang. Seingatku, Abah hanya akan kasih uang ketika aku diminta beli pil Esepuluh, lalu tersisa uang kembalian. Memang kembalian itu hanya Rp. 500, namun dulu aku sudah sangat senang.

Selain itu semua, Abah tak pernah kasih aku uang. Aku tahu, gaji sekolah tak mungkin membuat ekonomi keluarga berjaya. Toh saat itu masih gencar-gencarnya guru “Oemar Bakri”, bukan? Aku yakin Abah tak bersalah. Hanya ada orang yang ingin menjatuhkan Abah. Dan aku tahu, pelan-pelan waktu pasti akan menjawab kebenaran. Yang pasti Tuhan akan menunjukkan mana kebohongan dan mana kejujuran.

*****

Pagi itu kulihat Abah sedang sibuk meraut sebuah pensil. Ku perhatikan, pelan-pelan Abah mulai mencoret kertas putih dan memenuhinya dengan gambar. Aku tak tahu apa yang sedang Abah goreskan. Lambat laun kudekati Abah dan kurapatkan badanku padanya. Kudapati pada kertas putih itu gambar seorang laki-laki dengan memikul kayu bakar. Kayu bakar itu terbagi menjadi dua bagian. Masing-masing bagian tergantung pada kedua ujung kayu yang kemudian dipikul lelaki tersebut. Aku tak tahu kenapa Abah melukis gambar itu.

“Ini gambaran perjuangan masa lalu Abah. Untuk bisa sekolah, Abah harus memikul kayu-kayu ini bermil-mil jaraknya. Kalau tidak, maka Abah tak bisa sekolah”
Tiba-tiba air mata bening menggantung di pelupuk. Dalam sorot mata Abah seolah terbaca keinginan “Abah ingin anak Abah mengetahui dan suatu saat ada yang menuliskannya”

Lalu aku bertekad dalam batinku. “Abah, izinkan aku menuliskan kisahmu itu”

Kulihat Abah lanjut menggambar. Dengan latar belakang sekolah, ruang guru dan gerombolan pemuda dengan aksi anarkis.

Karya Nely Izzatul
Kabid Kader IMM Komisariat Ekstra UM

Leave a Reply