Oleh
: A Fahrizal Aziz
Tulisan ini masih erat kaitannya dengan dua tulisan
sebelumnya yang berjudul ‘ketika idiologi semakin tak berbentuk’ dan ‘Destutt
de Tracy, tentang idiologi dan definisi’. Karena setelah kita memahami ide-ide
dasar (idiologi) Muhammadiyah yang juga menjadi idologi IMM, maka patut kiranya
kita merumuskan gerakan dalam upaya membumikan idiologi IMM dalam bentuk yang
lebih riil.
Sedikit menambah pada dua tulisan sebelumnya, dulu
kelahiran IMM sempat dipersoalkan. Karena secara kultur kebangsaan, Indonesia
kala itu sudah memiliki beberapa organisasi yang mampu mengakomodir Masyarakat.
HMI misalkan, sejak awal kelahirannya Organisasi yang didirikan oleh Lafran
Pane ini sudah menunjukkan gejala kultur modernis, barangkali kultur tersebut
dibawa oleh Pendirinya yang juga merupakan kader Muhammadiyah.
Setelah itu GMNI, organisasi ini mengusung tipologi
Nasionalis. Dimana Nasionalisme di era 50-an tengah tengah berkobar-kobar.
Selanjutnya, kader-kader muda NU mendirikan
PMII yang secara struktural merupakan Organisasi sayap NU dan juga memiliki
visi yang sama dengan NU yang dulu lebih bercorak Tradisionalis, meskipun di
tengah jalan Organisasi ini mengadakan Deklarasi Murnajati yang mengikrarkan
manifestasi indenpendensi PMII.
Kultur kebangsaan di tahun 60-an hanya ada tiga :
Modernis, Nasionalis, dan Tradisionalis. Namun ada yang berpendapat jika ada
empat, salah satunya komunis-sosialis. Dan IMM yang merupakan Organisasi sayap
Muhammadiyah secara kultur membawa paradigma Modernis yang kala itu sudah
melekat kuat pada HMI. Pertanyaannya, untuk apa kemudian IMM harus terlahir?
Inilah saya kira sejarah yang harus kembali dibaca
oleh kader-kader kita, ada baiknya jika kita menguarai alasan logis terhadap
Djasman Al Kindi dan Amin Rais yang rela melepaskan jubah HMI nya untuk
mendirikan IMM, padahal secara kultur kedua Organisasi ini mengusung paradigma
yang sama. Dan ide/gagasan Djasman Al Kindi (selaku pendiri IMM) ini bisa
menjadi kajian tambahan untuk membedah ulang idiologi IMM, disamping
ide/gagasan dasar dari KH. Ahmad Dahlan.
Untuk membumikan Idiologi, sebagaimana dalam tulisan
sebelumnya ‘membedah idiologi IMM’, maka yang pertama harus dibangun adalah
mindset/Paradigma gerakan IMM terhadap Masyarakat kampus.
Paradigma Gerakan
Pertama, IMM sebagai Organisasi sayap Muhammadiyah,
dimana Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan harus menampilkan citra
organisasi yang terbuka. Entah terbuka dalam rekruitment anggota, terbuka
terhadap cara pandang organisasi lain, dan terbuka terhadap sistem yang ada.
Keterbukaan itulah yang akan mencirikan IMM sebaga organisasi Inklusif.
Kedua, Islam tentu harus menjadi instrument gerakan
IMM entah dalam Perkaderan maupun Dakwah, atau bahkan dalam berpolitik. Karena
Muhammadiyah berangkat dari kejian teks Tuhan (Alquran dan Hadits). Sehingga,
Islam menjadi dasar acuan gerakan IMM.
Ketiga, setiap kader IMM berorientasi pada gerakan
Perkaderan dan Dakwah. Dimana KH, Ahmad Dahlan dulu mengajarkan jika
keberislaman seseorang harus semakin menjadikannya dewasa dan kemudian
menjadikannya timbul kesadaran untuk mengeluarkan Masyarakat dari belenggu
kemiskinan dan kebodohan.
Dalam konsteks Mahasiswa, proses perkaderan dan
Dakwah bisa dimulai dari lingkup internal. Misalkan, dengan membangun sumber
daya kader. Kader yang awalnya tidak bisa membaca Alquran jadi bisa membaca
Alquran, kader yang sebelumnya tidak bisa shalat jadi bisa, dan seterusnya
sampai pada hal-hal yang lebih makro.
Selain itu, dalam menjalankan Dakwahnya IMM tentu berorientasi
pada perbaikan Masyarakat, karena ini merupakan upaya untuk mendidik Masyarakat
dari kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan dan Kebodohan dalam Masyarakat kampus
tidak bersifat materiil, melainkan bersifat moril seperti kemiskinan moral,
pengalaman, ilmu pengetahuan, jaringan, retorika dan lain sebagainya. (1)