- -

Oleh : Nely Izzatul
Sudah menjadi kebiasaanku dengannya setiap sore untuk menunggu kedatangan Abah dan Ibu. Klesotan di teras rumah, terkadang pula mondar-mandir sambil pandangan mata tak pernah lepas dari jalan. Kapan Abah dan Ibu pulang? Itu yang selalu menjadi pertanyaan.

Kami berdua akan sangat senang jika melihat lampu motor menyala dari ujung jalan kampung. Itu tandanya penantian kami akan segera berakhir. Harapan kami akan segera terpenuhi. Apalah lagi harapan kami itu, kalau bukan datangnya Abah dan Ibu.



Disisi lain kami akan menelan kecewa jika ternyata motor itu melaju melebihi batas rumah kami. Tandanya itu bukan motor Abah. Harapan kami pun pupus, penantian kami patah, dan kami harus menelan kecewa. Lantas kami kembali lagi memupuk kesabaran dalam penantian kami yang panjang.

Kami memang berbeda dengan kakak-kakak kami. Mungkin tidak hanya secara kepintaran, tapi juga belaian dan sentuhan kasih sayang. Perhatian dari Abah dan Ibu yang diberikan pada kami berdua –aku dan adikku- rasanya berbeda dengan kakak-kakak kami. Bahkan tidak hanya itu, keadaan dan kondisi perekonomian keluarga kami pun pelan-pelan berubah sejak kami berdua –aku dan adikku- mulai beranjak besar (atau bahkan sejak akan adanya kami berdua). Hal inilah yang membuat Ibu selalu berpesan pada kami.

“Do’akan Abah dan Ibu selalu sehat agar bisa membiayai sekolah sampean dan Okky”

Aku tahu kenapa Ibu selalu berpesan itu kepada kami berdua. Tentu saja karena Abah-Ibu semakin hari semakin dimakan usia, seiring itu pula maka keadaan fisik pun semakin berkurang, sedangkan masih ada kami yang menjadi tanggungan. Sehingga Ibu takut tidak bisa mengantarkan kami mencapai akhir studi.

*****

Saat aku dan adikku masih kecil, dengan pekerjaan Ibu sebagai pedagang baju keliling (biasa kita sebut narek atau mindring), kami selalu harus memiliki waktu untuk ditinggal Ibu. Pagi hari Ibu berbelanja pakaian di pasar sampai mendekati dhuhur. Setelah shalat dhuhur Ibu lanjut menjajakan pakaian-pakaian itu ke kampung lain.

Dalam menjajakan pakaian itu, Ibu pulang ke rumah tidak pernah pasti. Kadang sebelum maghrib, kadang pula sampai larut maghrib bahkan sudah mendekati waktu isya’. Tergantung jemputan Abah. Semakin sore Abah menjemput Ibu, maka sampai di rumah pun semakin larut. Otomatis dalam sehari kami berdua –aku dan adikku- hanya punya waktu sedikit untuk berdekap dengan Ibu, yakni pada waktu malam hari. Itupun pasti hanya sebentar, karena Ibu sudah pasti lelah.

Abah-lah yang selalu mengantar-jemput Ibu untuk berdagang. Selepas shalat dhuhur, Abah harus bersiap untuk mengantarkan Ibu mengais rezeki. Setelah mengantar Ibu sebentar, biasanya Abah pergi ke sawah sampai jam 4.30 sore. Barulah setelah itu, Abah akan menjemput Ibu berdagang. Dan sekali lagi, otomatis hari-hari kami selalu ada ruang untuk ditinggal Abah dan Ibu.

Sebagai anak-anak, daripada hanya berdua di rumah, kami selalu lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain dengan kawan di luar rumah. Setelah ngaji asar di TPA sebelah rumah, biasanya aku main ke rumah kawanku, Humaidah. Sejak kecil aku memang sudah dekat dengannya. Pasti aku lebih senang berada di rumahnya daripada harus sendiri di rumah, karena adikku pun biasanya setelah ngaji asar akan langsung bermain di lapangan.

Jika kami sudah selesai bermain sebelum Abah pulang dari sawah, Abah tidak akan mengunci pintu rumah saat akan menjemput Ibu. Tapi jika kami belum pulang lantas Abah sudah pergi menjemput Ibu, pintu rumah pun akan dikunci dan  Abah bawa. Maka pulang dari bermain, kami harus menunggu di depan rumah. Hal inilah yang membuat kami selalu harus ngemper di depan rumah, ngeweh, ndoweh menunggu kedatangan Abah dan Ibu.

Karena rumah kami berdekatan dengan masjid, akupun selalu malu dengan jamaah yang akan sholat  maghrib saat melihat kami berdua. Tak sedikit di antara mereka yang memberi tawaran kepada kami untuk ke rumahnya.

“Nel, Ok, ayo ke rumahku saja sambil nunggu Abah dan Ibu pulang”

Kalau sudah seperti ini, muka kami langsung menekuk. Meratap dan bertanya kenapa nasib kami seperti ini. Saat air mata kami bercucuran, tidak jarang kami akan saling menyalahkan.

“Mbak, ojo nangis nyo!” jika aku menangis, langsung marahlah Okky padaku, padahal dengan mengucapkan itu, belum tentu adikku tidak ikut menangis.

Ibuk kok gak teko-teko yo Ok. Ginyo kok ndewek ngalami koyo ngene” pada saat menunggu kedatangan Abah dan Ibu, aku pernah mengeluh dan menangis di depan adikku.

“Wes ta ojo nangis!” marah Okky padaku. Meskipun dia marah, tapi tetap saja ada tambahan kata “huhuhu” dengan ekspresi sesenggukan di akhir kalimat. Setelah itu kita pun akan menangis bersamaan, tapi kami akan menyembunyikan saat Abah dan Ibu sudah datang.

*****

Okky saudara terakhir kami. Dia satu-satunya adik yang kumiliki. Jika Ibu tidak pernah mengalami keguguran, sebenarnya aku punya banyak adik. Kalau tidak salah Okky adalah adik ketigaku. Tapi karena Ibu pernah mengalami keguguran, saat ini kami cukup menjadi 5 bersaudara, dan Okky adalah anak ragil.

Bagiku, Okky seorang adik yang sangat tegar. Sudah mulai sejak kecil Okky harus punya jadwal untuk diasuh orang lain. Kondisi ekonomi keluarga memang mengharuskan seperti itu. Jika tidak seperti itu, aku yakin kami –aku dan Okky- mungkin sudah lama harus membuang jauh mimpi untuk sekolah.

Kenapa kami harus diasuh orang lain sedangkan kami punya kakak? Memang seperti itulah. Kami hanya punya waktu untuk berkumpul dengan kakak-kakak kami jika liburan sekolah atau kuliah datang. Selain itu kami tidak punya waktu bersama, karena kakak-kakak kami harus mengais ilmu di kota lain. Maka hanya tinggal kami berdua yang tersisa di rumah. Senang dan susah kami akan lalui berdua.

Tak heran jika sampai saat ini aku masih sering teringat adikku Okky saat aku merasakan bahagia. Yang masih sangat membekas di memori adalah saat pertama kali aku bisa naik transportasi udara. Orang pertama kali yang aku pikirkan saat itu adalah Okky. “Kapan Okky juga bisa merasakan ini?” batinku.

Sampai saat ini aku juga masih seringkali merindukannya. Meskipun aku tahu, rinduku pada Okky saat ini tidak seperti dulu. Kenapa? Karena aku pikir keadaan Okky sekarang mungkin sudah jauh lebih baik. Okky sekarang sudah punya banyak kawan di pesantren. Aku yakin itu membuatnya jauh lebih baik. Tidak seperti dulu saat dia masih di rumah. Karena di rumah, ia malah tidak akan punya tempat untuk berbagi, melihat aku sudah harus melanjutkan studi, sedangkan Abah dan Ibu pun masih harus setia untuk mengais rezeki.
Tanggal 15 Maret kemarin adalah hari dimana adikku Okky bertambah usia. Sebenarnya aku tidak lupa. Tapi entah kenapa kemarin aku masih lupa berkirim sms kepada Ibu untuk mengucapkan Milad kepada Okky. Padahal tahun lalu, aku juga mendapat pesan dari Ibu bahwa Okky bertanya apakah kami –saudaranya- mengirim SMS ke Ibu untuk mengucapkan Selamat Milad kepadanya?

Setidaknya dengan menulis catatan ini, aku ingin memberikan “sesuatu” pada Okky. Dan sudah kuputuskan untuk menjadi sebuah “kewajiban” dalam menyelipkan do’a di akhir-akhir tulisanku. Untuk adikku Okky, semoga ia selalu menjadi orang yang tegar. Benar-benar menjadi seorang pemimpin yang dirindukan ummat, sebagaimana do’a Abah dan Ibu dalam mencantumkan nama padanya. Roisul Umam Asy-Syauqi, Seorang Pemimpin yang Dirindukan Ummat.

Karya: Nely Izzatul
Bidang Kader
IMM Komisariat Ekstra UM

Leave a Reply