- -



Oleh
Afif Hidayatullah 
Andi Permata ramadhan
Faridha Ramadhani
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam misi pendidikan di Indonesia telah tercantum bahwa misi pendidikan Indonesia adalah menciptakan suatu sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka mengembangkan kualitas manusia di Indonesia. Apabila dilihat dari misi di atas maka jelas bahwa sistem dan iklim yang ada tidak cocok dengan yang ditetapkan. Suatu sistem yang kaku akan sulit dibangun suatu pendidikan yang akan menghasilkan output yang bermutu karena pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Ditetapkanya Ujian Nasional (UN) sebagai standar kelulusan telah merusak psikologis siswa dengan mengubah siswa menjadi pribadi yang mudah cemas, pesimis, dan putus asa. Hal ini bertambah parah ketika mendiskusikannya dengan teman-teman siswa yang juga mendapat nasib yang sama. Bukannya membantu namun hal ini akan berujung pada kecemasan dan kepesimisan massal.
Bayangan pendahulu siswa yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya juga ikut menambah panjang derita siswa. Ketakutan tersebut tak diragukan telah membuat siswa semakin ketakutan menghadapi UN yang dijadikan standar kelulusan.
Memang dalam sistem tes apa pun pasti akan menimbulkan korban. Karena pada akhirnya tes akan menghasilkan kelompok yang lulus dan tidak lulus, serta kelompok terpilih dan tidak terpilih. Sepanjang sistem itu dilaksanakan secara adil dan mengandung tujuan yang jelas, sistem seleksi itu menjadi hal yang bisa diterima sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Tetapi ketika sistem itu dijalankan dalam situasi dan kondisi yang tidak adil, akan menghasilkan berbagai bentuk ketidakadilan
Ujian yang mengandalkan sistem pilihan ganda sangat memungkinkan segala sesuatunya terjadi. Ada unsur spekulasi dan untung-untungan di dalam menjawab soal-soal ujian. Kreatifitas para siswa tidak muncul. Kecurangan juga sangat dimungkinkan terjadi karena jawaban-jawaban hanya disimbolkan dengan alfabet seperti “A”, “B”, “C”, “D’ dan “E”. Dengan bantuan teknologi jawaban-jawaban dapat ditransferkan oleh seseorang dengan cepat kepada para siswa yang sedang mengikuti ujian. Sebagai buktinya dapat dilihat di surat kabar dan di televisi bahwa ada siswa yang menangis tidak lulus karena mencontek kunci jawaban yang salah. Suatu ironi menangisi ’kebodohan’ mental.
Kecurangan-kecurangan dalam UN bukan datang tanpa sebab. Tentu ada alasan yang mengiringi siswa-siswa yang rajin mengunjungi warnet untuk menjelajahi dunia maya dan berharap mendapat kisi-kisi hingga kebocoran soal UN, dan beredarnya sms berisi kunci jawaban.
 Keterbatasan waktu pengerjaan soal UN dan banyaknya materi yang harus siswa kuasai untuk mendapatkan nilai minimal angka 5,5 di ijazah secara langsung telah membuka jalan untuk mencari cara penyelesaian soal yang paling cepat. Tidak salah juga sebenarnya, mengingat bahwa rumus-rumus cepat ini berasal dari konsep dasar. Namun sayangnya, ada guru yang tidak menerangkan bagaimana rumus itu bisa terlahirkan dan ada juga siswa yang tidak mau mendengarkan penjelasan guru sehingga pada akhirnya rumus cepat ini mengubah kepribadian siswa menjadi kepribadian yang cenderung lebih nyaman dengan mendapatkan segala sesuatu secara instan.
Berkaitan dengan akibat jangka panjang, adanya rumus cepat ini juga akan berakibat munculnya generasi yang tidak dapat memimpin masyarakat dengan baik. Adanya rumus cepat mau tidak mau pasti akan mengikis kemampuan bernalar secara sistematis siswa.
Oleh karena itu, melihat berbagai masalah krusial tersebut, perlu adanya pembahasan mendalam  untuk mencari solusi atas permasalahan yang dibahas. Maka diangkatlah Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) ini dengan judul “Sertifikat Negara Sebagai Alternatif Pengganti Ujian Nasional dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia”. Diharapkan dari pembahasan ini akan diperoleh temuan-
temuan baru yang dapat memberikan titik terang atas permasalahan yang ada.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan yang bisa diambil yaitu:
- Untuk menjelaskan dampak negatif UN
- Untuk menjelaskan manfaat Sertifikat Negara bagi pendidikan di
  Indonesia
Manfaat
Berdasarkan latar belakang di atas maka manfaat yang bisa diambil yaitu:
Bagi Siswa
SD      
-          Sebagai laporan nilai siswa SD baik akademik maupun non akademik
-          Digunakan untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama
-          Mengurangi Dampak Psikologi Siswa SD akan adanya tekanan UN

SMP
-          Sebagai laporan nilai siswa baik akademik maupun non akademik
-          Digunakan Untuk masuk ke Sekolah Mnengah Atas
-          Mengurangi Dampak Psikologi Siswa akan adanya tekanan UN

SMA
-          Sebagai laporan nilai siswa baik akademik maupun non akademik
-          Digunakan Untuk Melamar Pekerjaan
-          Mengurangi Dampak Psikologi Siswa akan adanya tekanan UN

Bagi Guru
-       Mengurangi dampak disorientasi belajar siswa dan mengajar guru
-       Menghindarkan guru mengajar teaching for test sehingga siswa tidak
         cenderung hafalan
-       Menghilangkan beban guru untuk menjamin dan mewajibkan siswa
         lulus

Bagi Pemerintah
-          Sebagai Sarana untuk meningkatkan pendidikan yang efektif dan efisien
-          Sebagai sarana meningkatkan SDM di Indonesia yang bermutu tinggi
GAGASAN
Ujian Nasional (UN) di Indonesia
            Ujian Nasional yang lebih singkatnya  UN adalah suatu standar kelulusan bagi para peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. UN diadakan pemerintah bagi siswa yang telah memasuki masa masa akhir pendidikan SD, SMP, maupun SMA. Soal soal UN diambil dari materi yang telah diajarkan oleh guru semasa menjalani pendidikan tersebut, soal UN berbentuk pilihan ganda. Soal UN yang diberikan pemerintah kepada siswa dengan menggunakan 2 macam soal dengan sistem silang, hal tersebut untuk mengurangi dampak kecurangan yang dilakukan oleh siswa. Dalam sistem penilainya tidak ada nilai negatif dari UN, jawaban yang salah dinilai.
Ujian Nasional (UN) yang telah diadakan Setiap tahun kelulusan termasuk tahun sekarang terus memunculkan polemik tentang perlu tidaknya UN, resistensi ini muncul atas keprihatinan pada kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan yang memprhatinkan karena sebuah tuntutan keadaan bangsa yang tidak kunjung membaik, maka munculah sebuah pertanyaan yang besar, sudahkan pendidikan menjawab segala permasalahan bangsa yang semakin banyak dan kompleks. Adalah sebuah keharusan bagi semua pihak untuk memberikan perhatian lebih, dalam hal ini terutama pada aspek pelaksanaan UN, dengan munculnya kecurangan–kecurangan adalah penodaan kepada dunia pendidikan kita dan ini mengindikasikan bahwa memang strategi pendidikan saat ini belum relevan.                                                                                                                                              
Namun lebih dari itu, perhatian kita bukan semata pada aspek praktis semata, tetapi juga memahami betul esensi dari UN itu sendiri. Memang membahas UN dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan masih tetap sama yaitu perlu ada atau tidaknya UN. Hampir seluruh argumentasi pro-kontra mencapai klimaks pada keharusan UN tetap diadakan. Buktinya sampai saat ini UN masih tetap diadakan.
Satu satunya cara untuk menyembuhkan psikologi siswa yang ketakutan adalah dengan UN meyakinkan siswa bahwa pendidikan tentang siswa jalani selama ini tidaklah sia-sia. setelah siswa menempuh pendidikan selama tiga tahun siswa pasti akan bisa menyelesaikan soal UN dengan hasil yang baik. Usaha ini tentunya takkan lepas dari peran guru, karena itulah guru harus dapat berperan sebagai pendidik, tidak hanya sebagai pengajar. Tidak cukup dengan membawa dampak psikologi berupa kecemasan, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan juga membawa dampak panjang dan berpotensi permanen yakni lahirnya generasi calon pemimpin yang bermental instan.
Prestasi tidak hanya ditentukan oleh hal akademik tetapi non akademik dengan  diadakannya UN. Dapat membuat siswa yang berprestasi di bidang non akademik kehilangan kesemptan. Buktinya ada siswa berprestasi yang tidak lulus UN . Contohnya kelulusan siswa di SMP 1 Mamuju, Selasa, nomor ujian kedua siswa berprestasi  tidak tampak dipapan pengumuman siswa yang lulus UN di sekolah itu. Padahal siswa adalah siswa yang berprestasi karena telah mengharumkan nama sekolahnya sebagai atlet pencak silat. Sehingga hal ini bisa membunuh masa depan siswa tersebut


Kelemahan UN di Indonesia
UN dilandasi oleh Landasan Hukum yang "Cacat"
Permasalahan yang sering diperdebatkan terkait dengan UN adalah mengenai kontradiksi landasan hukum pelaksanaan UN, keluarnya PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang diharapkan menjadi landasan hukum pelaksanaan UN malah bertentangan dengan peraturan di atasnya UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya tentang 'siapa yang sebenarnya yang mempunyai otoritas melakukan evaluasi terhadap peserta didik. menurut UU. No 20 tahun 2003 pasal 58 wewenang tersebut ada ditangan pendidik, namun hal ini kontradiktif dengan PP. No.19 tahun 2005 dan Permen No. 77 tahun 2008 yang memberikan otoritas evaluasi pada menteri pendidikan nasional dengan meminta bantuan badan yang disebut BSNP. Bahkan dalam sidang paripurna DPD RI ke-13 tanggal 11 mei disebutkan bahwa undang-undaung yang berkaitan dengan UN (PP no.19 tahun 2005) harus dicabut karena tidak sesuai dengan UU no. 20 tahun 2003 khususnya pasal 57 dan 58. Ujian nasional juga telah melanggar prinsip-prinsip pedagogis, psikolgis, dan sosiologis serta pemborosan keuangan negara sehingga menimbulkan berbagai dampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter kuat. Bahkan dari hasil rapat tersebut muncul rekomendasi untuk mencabut PP no. 19 tahun 2005, menyiapkan sistem evaluasi yang benar menurut kaidah pendidikan yang sesuai  dengan UU Sisdiknas, baik untuk kepentingan pemetaan mutu pendidikan maupun kepentingan evaluasi akhir peserta didik serta membangun kembali suasana belajar dan proses pembelajaran yang  membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 3 UU Sisdiknas Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa landasan hukum pelaksanaan UN tersebut amat lemah dan cacat karena banyak kontradiksi ditemukan di dalamnya.


Kontroversi Tentang Kewenangan dan Keindependenan BSNP
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kewenangan guru dalam menilai keberhasilan pendidikan yang dimanatkan UU No.20 tahun 2003 telah 'dirampok' secara inskonstitusional oleh pemerintah melalui BSNP berdasarkan PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Memberikan kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sebenarnya sebuah langkah mundur dalam dunia pendidikan. pemberian kewenangan ini nyata sekali tidak didasari pengetahuan pedagogik yang baik alias didasarkan pada pertimbangan pedagogik yang serampangan. Peserta didik hanya dianggap sebagai objek atau out-put dari sebuah 'pabrik' pendidikan yang perlu disortir kelayakannya. produk yang gagal dan tidak sesuai standar dimasukkan dalam 'tong sampah', hanya yang memenuhi standar yang boleh menikmati pendidikan yang lebih tinggi. Logika berpikir semacam ini, jelas banyak diracuni oleh cara berpikir "Pabrikkan dan makelar", sekolah dianggap sebagai pabrik dan ujian sekolah adalah seleksi produk. Terkait dengan hal ini, kadangkala saya berpikir inilah yang akan terjadi jika pemegang penentu kebijakan pendidikan diduduki oleh 'saudagar-saudagar' "ekonom-ekonom" dan "opurtunis-opurtunis' yang sesungguhnya miskin pengetahuan pedagogik.
Pemberian kewenangan pada BSNP dalam menilai keberhasilan pendidikan dan 'menghakimi' kelulusan peserta didik sesungguhnya pembiaran penjegalan fungsi pendidikan sebagai pelestari tradisi kemanusiaan dan pendewasaan anak manusia. Anak didik adalah subjek manusia yang mempunyai beragam keunikan dan perbedaan, dan yang mengenali hal ini adalah guru itu sendiri. Maka kurang adil rasanya bila wewenang dalam evaluasi Ujian Nasional (UN) di serahkan orang lain yang tidak bersentuhan dengannya apalagi oleh lembaga yang terdiri dari orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh bersentuhan dengan dirinya.
BSNP menurut PP. No.19 tahun 2005 adalah lembaga independen, hal ini mempunyai maksud bahwa BSNP lepas dari segala campur tangan pemerintah, namun dalam kenyataanya BSNP merupakan kepanjangan pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Dinegara-negara maju lembaga yang setara dengan BSNP dibentuk oleh lembaga profesional guru, karena pada dasarnya gurulah yang tahu standar apa yang diperlukan oleh sekolah, bukan oleh lembaga yang berisi oleh sekumpulan cahli cpendidikan cyang sebenarnya ctidak cpernah jmengalami dan
merasakan kebutuhan apa yang diperlukan oleh sekolah.


Akses UN Mereduksi Tujuan Luhur Pendidikan "Humanisasi dan Homonisasi"
UN yang dipakai sebagai 'hakim' atau tolak ukur kelulusan siswa sesungguhnya adalah 'pelecehan terang-terangan' terhadap tujuan luhur pendidikan 'humanisasi dan homonisasi'. Sesungguhnya UN hanyalah program yang tidak menghargai keunikan manusia sebagai pribadi. UN telah 'membonsai' arti manusia menjadi setara dengan barang produksi. Barang produksi yang cacat dipinggirkan dan dianggap menjadi tidak berharga.
Pribadi manusia sangatlah unik dan tidak tergantikan, manusia oleh Tuhan dianugrahi dengan Bakat, talenta, kreatifitas, dan kebebasan mengembangkan diri. Keunikan yang tak tergantikan tersebut 'dihakimi' dengan kemampuan akademik melalui UN. Indikator ini dapat mudah kita lihat, banyak siswa yang tidak lulus UN adalah siswa yang berpretasi di bidang lain seperti olahraga, seni, bahasa, dan lain-lain.
Ada  sebuah ilustrasi seperti ini. Si A, misalnya, mendapatkan nilai UN Matematika = 3,90, IPA = 7,50, Bahasa Indonesia = 9,60, dan Bahasa Inggris = 8,80, sehingga jumlah nilainya mencapai 29,80 dengan nilai rata-rata akhirnya mencapai 7,45. Dengan perolehan nilai seperti itu, si A jelas tidak akan lulus. Bandingkan dengan si B, misalnya, mendapatkan nilai UN 5,50 untuk semua mata pelajaran yang diujikan. Meskipun dengan jumlah nilai 22,00 dengan nilai rata-rata hanya 5,50, si B tetap lulus. Dari sisi talenta dan potensi, seharusnya si A jelas memiliki kompetensi lebih jika dibandingkan dengan si B. Si A hanya memiliki kelemahan di satu bidang, yakni Matematika, tetapi memiliki banyak kelebihan di bidang yang lain, sedangkan si B memiliki kelemahan yang merata di seluruh bidang. Jika mau jujur, seharusnya si A yang lulus, sedangkan si B yang masih perlu dipertanyakan kompetensinya. Namun, akibat sistem UN yang salah urus dan mengebiri potensi siswa didik, banyak siswa hebat dan berbakat yang mengalami nasib tragis.
Idealnya pendidikan itu harus holistik, artinya menyangkut seluruh unsur yang dapat menopang kehidupan manusia. Pendidikan holistik melibatkan seluruh potensi dan kepribadian siswa. Namun dengan adanya UN, hal-hal itu mulai terabaikan. Mungkin secara de jure pendidikan holistik ada, namun secara de facto, perlu dipertanyakan. Pendidikan era ini adalah pendidikan olah pikir semata. Maka hasil yang kita tuai adalah merebaknya manusia-manusia yang berjalan dengan kepala, tanpa badan.

Akses UN Pemicu Disorientasi Belajar Siswa dan Mengajar Guru
Permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari UN sebagai 'hakim' penentu kelulusan adalah disorientasi belajar siswa dan mengajar guru. Alih-alih UN dapat meningkatkan belajar siswa dan kerja keras sebagai karakter, sepeti sering diucapkan oleh pejabat pemerintah, yang terjadi sesungguhnya adalah siswa berbondong-bondong masuk dalam bimbingan belajar, dan tidak sedikit bimbingan belajar ini bekerja dengan sekolah-sekolah. Lembaga yang melabeli dirinya bimbingan belajar ini, realitanya adalah lembaga bimbingan belajar, yang hanya berfokus pada tes-tes yang diprediksi keluar dalam UN. Ironisnya guru dan sekolah juga terjebak pada hal yang sama, pembelajaran yang mempunyai makna luhur telah dikerdilkan menjadi sekedar teaching for test. Meminjam istilahnya Andi Hakim nasution, sekolah dan lembaga bimbingan belajar menjadi lembaga 'pembonsaian' pendidikan, menjadikan anak menjadi tukang hafal soal dan jawaban, yang cenderung dilupakan seiring dengan berlalunya UN.
Adanya UN, membuat peran guru sebagai agen pembelajaran secara evolutif tergerus oleh LBB. Demi sukses UN, banyak siswa sekarang menggantungkan proses pendidikan kepada LBB. LBB dipercaya sebagai pihak yang mampu memberikan kemudahan dalam proses pengerjaan UN. Di satu sisi ditunjang dengan para tutor yang kaya dengan strategi pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan. Adanya LBB membuat motivasi dan etos belajar siswa semakin meningkat. Namun di sisi yang lain, LBB tidak sekedar sebuah institusi pendidikan fast food (cepat saji) yang hanya mengutamakan hasil bukan proses pendidikan. Secara psikologis, model pendidikan inilah begitu digemari siswa. Cepat, praktis dan hasilnya dapat dirasakan segera. Akibatnya siswa lebih banyak menggantungkan keberhasilan UN kepada LBB.jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
Begitu dominannya peran LBB tersebut, membuat tingkat kepercayaan siswa kepada guru dalam mengelola pembelajaran semakin menurun. Apalagi tuntutan  PP no. 74/2008 yang mengharuskan guru mengajar 24 jam setiap minggu membuat perhatian guru kepada siswa menjadi kurang intens.  Siswa seakan lebih nyaman dan nikmat belajar di LBB daripada belajar dengan guru yang kurang perhatian. Ironisnya, di kalangan guru pun masih banyak yang tidak begitu bisa menciptakan pembelajaran yang menyenangkan kepada siswa. hasilnya, guru semakin hilang tingkat kewibawaannya di mata siswa. Bagi siswa, perlahan tetapi pasti, suatu saat belajar di sekolah hanyalah sebuah kegiatan seremonial dan prosedural pendidikan belaka. Pembelajaran yang sesungguhnya terjadi di LBB. Pada akhirnya tujuan pendidikan di mata siswa hanyalah bagaimana lulus UN.


Dampak UN di Indonesia
Berdampak pada Psikologis Siswa
Ujian Nasional (UN) berdampak bagi para siswa baik sebelum maupun sesudah terjadinya UN tersebut. Dampak yang terjadi sebelum UN yaitu membuat siswa menjadi pribadi yang mudah cemas, pesimis, dan putus asa. Bayangan kegagalan dari para senior mereka merupakan salah satu penyebabab terjadinya hal tersebut. Hal ini bertambah parah ketika mendiskusikannya dengan teman-teman siswa yang juga mendapat nasib yang sama. Bukannya membantu namun hal ini akan berujung pada kecemasan dan kepesimisan massal.
Bukan hanya sebelum terjadinya ujian sesudah terjadinya ujian dampak psikologis yang ditimbulkan UN juga besar Membuat mereka depresi. Di SMA 1 Mamuju misalnya ada siswa yang pingsan karena tidak lulus UN (www.liputan6.com), bahkan di salah satu SMP di kota malang ada siswa yang gantung diri karena tidak lulus UN (www.berita2.com). Hal ini sungguh ironis mengingat tujuan pendidikan di Indonsia dalah untuk meningkatkan kualitas manusia malah berakhir seperti contoh di atas.

Menimbulkan Kecurangan Baik Dilakukan oleh Siswa, Guru, maupun Sekolah

UN dan standar kelulusannya mengakibatkan banyak pihak berusaha dengan segala cara untuk lulus baik dilakukan oleh siswa itu sendiri maupun oleh pihak lain. Kecurangan oleh siswa contohnya, dari laporan posko pengaduan kecurangan tahun UN 2010 dilaporkan bahwa di Jakarta semua siswa diketahui telat bekumpul di suatu tempat untuk membahas kunci jawaban (www.detiknews.com). Laporan lain menyebutkan di NTB pukul 06.30 WITA terdapat SMS gelap berisi jawaban. Ini sungguh ironis siswa tersebut seperti tidak menghargai masa pendidikannya selama 3 atau 6 tahun untuk mengajar standar kelulusan.
Kecurangan bukan hanya dilakukan oleh siswa tetapi juga pihak lain contohnya guru. Dalam sebuah artikel yang kami baca terdapat guru yang membacakan kunci jawaban bagi siswa (www.jakartanews.com). Bukan hanya guru sekolahpun ikut andil dalam kecurangan yang terjadi di dalam UN. Laporan dari posko pengaduan UN 2010 menyebutkan bahwa di Lamongan terdapat sebuah Madrasah Aliyah yang membantu siswanya yang kesulitan UN (www.detiknews.com). ini sungguh memprihatinkan pihak-pihak tersebut seharusnya membantu para siswa dalam kegiatan belajar mengajar bukan dalam kecurangan.

Banyak Siswa berprestasi pada Suatu Mata Pelajaran dan yang Berprestasi di Bidang Nonakademik tidak Lulus UN    

Dari data yang kami peroleh ditemukan bahwa peraih nilai tertinggi Bahasa Indonesia (www.kompas.com), dan enam peraih nilai tertinggi Matematika tidak lulus UN (www.metronews.com) selain itu di salah satu SMP Kabupaten Mamuju terdapat siswa yang berprestasi dibidang nonakademik yang tidak lulus UN. Manusia itu terlahir dengan bakat, kreatifitas, kelemahan, dan kekurangan yang berbeda-beda tidak adil rasanya menilai kelulusan siswa dari satu aspek atau satu sisi saja. 

  
Ujian Paket A, B, dan C sebagai Alternatif Usaha Pemerintah dalam 
Mengatasi Ketidaklulusan Siswa
Seperti kita lihat saat ini, UN bersifat uniform untuk semua sekolah di Indonesia dengan standar kelulusan yang sama. menjadi sebuah pertanyaan besar. bagaimana UN yang sama diselenggarakan untuk peserta didik yang ada dikota besar dengan peserta didik di daerah pedalaman yang tertinggal di seluruh Indonesia. Standar kelulusan yang sama hanya dapat diberlakukan ketika semua sekolah memenuhi kualifikasi delapan standar yang sama seperti telah ditetapkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP). Selama ini sebagian besar sekolah yang telah memenuhi ke delapan standar tersebut ada di pulau Jawa terutama Jakarta, yang terjadi kemudian adalah 'pemaksaan' kelulusan dengan standar jawa (Jakarta). Kenyataan ini sangat 'melukai' rasa keadilan bagi peserta didik.
Melihat Berbagai permasalahan di atas, pemerintah mengambil solusi dengan mengadakan ujian Paket A, B, dan C bagi siswa yang tidak lulus UN, paket A untuk siswa SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA. Pemerintah memberikan kesempatan bagi siswa yang tidak lulus UN untuk mengikuti ujian kesetaraan paket A, B, dan C. Program ujian Kejar (kelompok belajar) Paket A, B, dan C yang ditawarkan pemerintah merupakan alternatif untuk memperbaiki nilai mata pelajaran siswa SD, SMP, SMA yang tidak lulus Ujian Nasional (UN). Ijazah Paket A, B, dan C bisa digunakan para siswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya maupun untuk keperluan lain, seperti melamar pekerjaan. Namun, bilamana siswa yang bersangkutan ingin mendapatkan ijazah sekolah yang diinginkan, itu bisa saja dilalui siswa dengan mengikuti ujian untuk tahun berikutnya,”
Dari fenomena yang ada kebanyakan siswa menganggap bahwa ikut UN Kejar paket A, B, dan C akan otomatis lulus. Namun kenyataannya Semuanya tetap tergantung kemampuan siswa. Materi ujian Kejar Paket A, B, dan C juga dibuat oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional RI, bukan dibuat oleh lembaga penyelenggara program tersebut di daerah.
Program Kejar Paket C masih terjadi pro dan kontra dari kalangan siswa SMA sendiri. Bagi yang pro, Kejar Paket C sebagai jalan keluar menuju perguruan tinggi, sedangkan yang kontra menganggap dengan ikut serta seakan jatuh martabat. Apalagi sebelumnya sekolah siswa favorit. Tidak seimbang antara favorit dengan Kejar Paket C yang dalam pandangan siswa sebagai lembaga pendidikan "kelas bawah". Penilaian kontra juga dilandasi pelaksanaan ujian Kejar Paket C siswa yang tidak lulus UN dibarengkan dengan siswa peserta Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Selain itu, sistem pembelajaran yang berbeda sedikit berpengaruh pada cara mengerjakan soal bagi siswa.
Hal yang membuat siswa ragu mengikuti ujian Kejar Paket C adalah karena ijazah Paket C dinilai tidak sebanding dengan lamanya belajar siswa yang sampai tiga tahun. Sementara, siswa PKBM hanya menempuh satu tahun kegiatan belajar dengan pemadatan materi dan pembatasan jam pelajaran. Lebih parah lagi, pelaksanan ujian paket C pun makin memprihatinkan peserta didik. Pasalnya, meskipun siswa lulus dari ujian tersebut, tetap saja siswa tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Terutama ke Perguruan Tinggi Negeri karena lembaga pendidikan itu, telah menutup masa penerimaan mahasiswa baru. Malahan telah di gelar acara Orientasi Pengenalan Kampus (ospek). Artinya siswa harus rela meninggalkan terlebih dahulu cita-citanya. Kalaupun bisa, mungkin siswa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tentunya, dengan biaya yang relatif lebih mahal. Dengan demikian, di selenggarakanya ujian paket C atau tidak, kedua-duanya malah menjadi masalah bagi pertumbuhan  pendidikan. Bahkan bisa dibilang sebagai masalah baru dalam
dunia pendidikan
Implementasi Sertifikat Negara Sebagai Alternatif Pengganti Ujian  
Nasional
Dari permasalahan di atas solusi yang tepat dalam mengatasi dalam mengatasi masalah ini adalah dengan menerapkan sertifikat negara dengan cara pemerintah menerapkan sertifikat negara. Dalam konsep ini Sertifikat Negara sebagai standar kelulusan siswa yang mencakup penilaian beberapa aspek, dengan adanya sertifikat negara mengakibatkan berkurangnya tekanan psikologi  karena penilaianya sudah mencangkup semua aspek yang diimiliki manusia. maka pihak siswa dan guru akan bekerja sejujur mungkin untuk mengerjakan soal tersebut. siswa yang ingin meneruskan pendidikanya maka siswa wajib mengikuti tes untuk mendapatkan sertifikat negara yang digunakan sebagai aspek penilaian untuk bisa masuk ke pendidikan selanjutnya. Keberadaan sertifikat negara membuat siswa akan bersaing secara sehat untuk berprestasi dibidang keahliannya masing-masing. Hal ini nantinya juga akan membantu siswa untk masuk ke sekoah unggulan.
Dalam sistem penilaian sertifikat negara penilaian tidak hanya dilakukan terhadap akademik siswa, tetapi juga penilaian dalam segala aspek yaitu aspek olahraga, apek bahasa, aspek kesenian, aspek agama dan aspek kewarganegaraan. karena tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan yang berbeda beda sehingga tidak adil jika hanya aspek akademik yang dijadikan aspek penentu kelulusan. Nantinya aspek akademik dan aspek nonakademik akan saling menutupi. Maksudnya jika aspek akademik buruk dan aspek nonakademik baik siswa bisa dinyatakan lulus begitu juga sebaliknya.
Dalam sertifikat Negara guru dan pemerintah sama-sama memiliki andil dalam penentuan kelulusan yaitu 50:50, karena guru merupakan pengajar dan pendidik siswa. Merekalah yang mengetahui seluk beluk siswa mengenai bakat kelebihan dan kelemahan siswa seharusnya mereka juga diberi peran dalam penentuan kelulusan UN. Wewenang penilaiannya yaitu, pemerintah berwenang dalam menilai aspek kognitif siswa melalui ujian tulis Sertifikat Negara, sedangkan guru berwenang dalam penilaian psikomotor siswa melalui ujian praktek Sertifikat Negara serta aspek afektif melalui kegiatan belajar-mengajar yang selama ini telah dijalani oleh siswa.
Dalam tesnya sistem sertifikat negara menggunakan metode sistem toefl kalau di toefl ada listening, writing, reading di sertifikat negara ada penilaian kesenian, olahraga, bahasa, agama, kewarganegaraan, dan akademik. Untuk keenam aspek tersebut penilaian juga bisa menggunakan sertifikat sertifikat yang didapat dari kejuaraan atau tournament yang penah diikuti, di samping test yang diadakan oleh negara. Jika dalam Toefl penilaian berkisar antara 300-600 sertifikat negara berkisar antara 0-100 dan tiap sertifikat mendapat poin tersendiri. Dan tiap aspek akan di rata rata setelah itu di total dengan aspek lainya setelah itu ditotal rata rata secara keseluruhan.
                                               
Peraturan Penilaian Sertifikat Negara
- Nilai rata-rata minimum 5,5
- Boleh terdapat nilai rata-rata tiap aspek £4 asal dengan nilai rata-rata   
   keseluruhan ≥ 5,5
Tata Cara pelaksanaan Sertifikat Negara
-          Ujian dilaksanakan di sekolah masing masing untuk ujian akademik dan ujian teori bahasa
-          Penjagaanya dengan menggunakan sistem silang dengan sekolah lain dan diawasi oleh badan yang dibentuk untuk mengawasi ujian sertifikat Negara
-          Tingkat kesulitan dibedakan perrayon
-          Ujian teori akademik dan bahasa dilaksanakan selama 4 hari dengan jadwal yang disusun oleh pemerintah
-          Sedangkan untuk ujian Praktek dilaksanakan di sekolah masing masing selama 1 minggu dengan team penguji dari guru masing masing dengan adanya pengawasan khusus dari badan pemerintah
-          Selain ujian teori dan prektek penilaian nantinya juga bersal dari aspek afektif siswa yang otoritas evaluasinya diberikan kepada guru
-          Guru Bertanggung jawab terhadap nilai yang diberikan terhadap siswa
-          Jika terbukti ada nilai manipulasi dari guru maka guru akan dikenakan sanksi oleh pemerintah


Manfaat yang diperoleh dari Sertifikat Negara dalam meningkatkan mutu
 pendidikan di Indonesia
Mengurangi Beban Psikologis Siswa
Dengan dihilangkanya UN dan diterapkanya sertifikat Negara hal ini akan menghilangkan beban psikologis siswa sehingga siswa tidak merasa depresi dengan adanya UN. Dalam sertifikat Negara nantinya kelulusan tidak ditentukan oleh satu aspek saja, tetapi berbagai aspek sehingga siswa dapat besaing dan berlomba-lomba dalam aspek keahliannya tanpa mengabaikan aspek yang lain.  Tidak hanya psikologis siswa tetapi psikologis. Dengan diterapkaya sistem tersebut maka moral siswa dalam mengerjakan UN sesuai dengan kemampuanya sendiri akan terbangun sehingga menimbulkan sumber daya manusia yang bermutu tinggi dan bermoral. Disamping itu pribadi manusia sangatlah unik dan tidak tergantikan, manusia oleh Tuhan dianugrahi dengan Bakat, kreatifitas, dan kebebasan mengembangkan diri. Penilaian semacam sertifikat Negara telah menghargai keunikan tersebut.


Mengurangi Kecurangan Baik Dilakukan oleh Siswa, Guru, maupun Sekolah
Dengan berkurangnya beban psikologis siswa serperti yang dijelaskan di atas maka akan mengurangi pula tingkat kecurangan siswa. Siswa tidak lagi dituntut untuk selalu mendapatkan nilai sesuai standar dalam aspek akademik karena ada aspek-aspek lain yang dapat membantu kelulusan siswa tersebut. Keberadaan sertifikat negara Membuat Sekolah tidak perlu memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelulusan siswa terkait dengan kredibilitas sekolah akan ditentukan dengan hasil UN tersebut dengan adanya sistem standar kelulusan yang saling menutupi antar aspek. Keadaan ini ini dapat memperkecil sekolah-sekolah dan guru melakukan segala upaya termasuk berbagai kecurangan untuk memastikan siswa-siwa lulus pada UN. Akhirnya pendidikan Indonesia yang sebelumnya sudah berada pada model pendidikan yang  banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan, akan hilang dengan adanya sertifikat negara.


Menjadikan Pendidkan di Inonesia berbasis kompetensi dan student center
Sertifikat Negara juga akan menuju pengajaran yang naturalistik. Siswa diajak belajar dan memahami apa yang dipelajarinya. Pembelajaran yang dilakukan secara natural akan menghasilkan substansi yang lebih baik. Sistem pemaksaan standar seperti yang ada saat ini, selain menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi siswa, juga melahirkan pragmatisme pendidikan. "Demi nilai yang bagus, siswa rela tidak `belajar` dan hanya melatih apa yang dimilikinya dengan cara mengerjakan soal-soal tanpa pengayaan. Dengan adanya Sertifikat Negara akan membuat siswa tidak lagi terpaku dalam standar kelulusan tetapi lebih ke arah pngembangan diri dan persaingan sesuai bidang keahliannya. Guru pun nantinya akan mengarahkan siswa untuk lebih mengasah bakatnya tanpa mengabaikan bidang atau aspek yang lainnya, dan pengajaranya akan berpusat pada siswa bukan lagi guru sehingga pendidikan di Indonesia menjadi pendidkan yang berbasis kompetensi dan student center.

Membangun Siswa untuk Terus Meningkatkan Bakat, dan Kreatifitas yang
Dimiliknya
Dengan adanya Sertifikat Negara akan membuat siswa mengetahui bakat-bakat dan kreatifitas yang dimilikinya. Siswa bisa lebih fokus dalam mengembangkan dirinya dengan mengetahui bakat-bakat yang dimilikinya, baik di bidang akademik, bahasa, olahraga, kesenian, agama, atau  kewarganegaraan.


Pihak-Pihak yang Terkait dalam Proses Implementasi Sertifikat Negara di
Indonesia
Pemerintah
Dari gagasan yang saya ajukan pemerintah sangat berperan penting dalam menerapkan penggunaan sertifikat negara di Indonesia pemerintah harus mengubah sistem UN yang sekarang banyak berakibat negatif kepada siswa mulai dampak terhadap psikologi, diskriminasi, dan kualitas pendidikan itu sendiri, karena itu diperlukan pembaharuan yang dilakukan pemerintah untuk mengubah pendidikan di Indonesia, dengan pembaharuan tersebut diharapkan bisa menagangakat kualitas SDM di Indonesia bukan hanya dilihat dari segi akademik saja melainkan seluruh aspek dan siswa juga dididik untuk lebih bermoral dan jujur. Caranya dengan menetapkan PP baru mengenai Sertifikat Negara karena dasar hokum UN ditetapkan melalui PP. selain itu pemerintah juga harus melakukan sosialisasi di masyarakat mengenai progam Serifikat Negara ini untuk memperlancar proses implementasi nantinya. 


Guru

Dalam Serifikat Negara guru memegang peranan yang sangat penting dalam mengevaluasi,memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Karena itu dalam sertifikat Negara ini guru berhak dalam melakukan penilaian psikomotor dan afektif siswa karena yang paling mengetahui kemampuan siswa adalah guru bukan BSNP yang tidak tahu tentang siswa



Sekolah

Sekolah juga berperan dalam mewadahi penilaian sertifikat Negara,mulai dari penyiapan ujian,administrasi ujian,pelaksanaan ujian,samapi dengan administrasi hasil ujian. Disamping itu sekolah juga menyiapkan ruang ujian dan fsilitas yang sesuai diujikan dalam sertifikat negara


Siswa
Para siswa juga berperan memberikan opini opini baru terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, karena dengan sistem yang ada sekarang siswa merasa sangat dirugikan dengan adanya tekanan mental dari UN maka diperlukan keberanian siswa untuk mengkritik dan memberikan solusi terbaru seputar UN sehingga dapat memperbaiki pendidikan di Indonesia, dengan kebisaaan tersebut maka dapat menggerakkan hati pemerintah untuk sadar dan mengubah pola
pendidikan yang ada dengan mengunakan sertifikat negara. 
KESIMPULAN
                Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1.      UN merupakan sistem pendidikan yang tidak efektif diterapkan di Indonesia  karena dengan adanya UN akan berakibat buruk pada psikologi siswa yang tertekan dengan adanya UN disamping itu UN juga merupakan sistem ujian yang tidak adil karena nasib siswa selama 3 tahun hanya ditentukan dalam waktu 3 hari. UN juga akan berakibat buruk terhadap orientasi siswa dan guru yaitu banyak terjadi disorientasi belajar siswa dan mengajar guru sehingga siswa banyak percaya kepada LBB daripada guru. Dalam penerapan dan sistem yang hanya menilai siswa dari  akademik, Sehingga UN hanyalah program yang tidak menghargai keunikan manusia sebagai pribadi.
2.      Sertifikat negara nerupakan alternatif pengganti UN yang efektif. Dengan metode seperti tes Toefl dan penilaianya yang tidak hanya menilai siswa dari segi akademik tetapi juga menilai seluruh aspek yang dimiliki manusia sehingga tidak melanggar dan melecehkan keunikan manusia. Dengan dihilangkanya UN dan diterapkanya sertifikat Negara hal ini tidak akan menjadi beban psikologi siswa. Sehingga siswa akan berusaha bekerja semampunya dalam mengerjakan UN dan mengurangi kecurangan yang dilakukan siswa selama diterapkanya UN. Di samping itu sertifikat Negara juga membuat siswa lebih percaya kepada guru karena siswa diajari dengan cara yang baik bukan hanya menghafal kisi kisi yang ada dalam UN. 




PPKMGT UM 2010
FFinalis PIMNAS 2010
   Univ Mahasaraswati Denpasar Bali





Leave a Reply