- -

Oleh : Ilfatul Amanah

Awal tahun 2009, Saat itu aku belum lulus dari S1-ku. Ada yang bertanya mengapa skripsiku belum juga usai tetapi aku tak pernah menemukan alasan yang tepat. Jika ada pembaca yang berada dalam kondisiku waktu itu, tengah mengerjakan skripsi dan tiba-tiba macet di tengah jalan, pasti tidak banyak bertanya dan dengan tatapan penuh arti mengatakan kalau mengerti perasaanku. Aku bukannya mahasiswi malas yang hanya copy paste mengerjakan skripsiku, Aku dibimbing oleh salah satu Professor terbaik di kampusku, Guru Besar bidang ilmu Geologi. Judulku juga telah disetujui, bahkan banyak yang memuji ide cemerlangku. Bisa dibilang aku mahasiswi yang punya peluang besar untuk lulus lebih cepat dari teman-teman seangkatanku. Tetapi itulah kenyataannya. Skripsiku sedang berhibernasi di folder komputer yang aku beri nama sangat menawan: “skripsiku sayang”



Dan kemalasanku terpatahkan saat aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan cinta ala remaja saat ini yang histeris saat boyband korea datang ke Indonesia, atau menangis haru ketika keluarnya Ariel dari penjara. Aku jatuh cinta kepada semangat nenek Fatimah yang tak kenal lelah menimba ilmu. Usia beliau sekitar 90 tahun. Nenek Imah -begitu panggilan orang-orang terhadapnya-   tidak ingat tahun berapa ia dilahirkan. Beliau hanya ingat saat itu kehidupannya diatur oleh orang londo. Aku bertemu nenek Imah ketika diajak sahabatku, Cindy, mengikuti Pengajian Ahad Pagi di Masjid dekat kostku. Beliau salah satu anggota pengajian yang tidak pernah absen datang. Nenek Imah selalu berada di shaff paling depan saat sholat lima waktu. Begitupun saat pengajian. Meskipun hujan datang, dari balik jendela kostku kulihat beliau menunggu penceramah datang di serambi masjid.

Nenek Imah tersenyum senang melihat kedatanganku dan Cindy waktut itu. Kata beliau,  jarang ada anak muda yang mau ikut pengajian. Ah, betapa malunya aku. Andaikan nenek tahu alasanku ikut pengajian adalah  melarikan diri dari skripsiku. Sejak saat itu setelah pengajian usai, aku banyak bertukar kisah dan hikmah dengan nenek Imah. Mendengar cerita beliau tentang nikmatnya mencari ilmu meskipun diusia yang sudah sepuh, aku jadi malu sendiri. Tiba-tiba terkena cipratan semangat untuk merampungkan skripsiku. Atau terkadang mendengar cerita beliau tentang pahitnya kehidupan masa lalunya. Bukan mengeluh, tetapi berbagi pengalaman.

Nenek Imah memiliki 7 orang anak, 3 laki-laki dan 4 anak perempuan. Beliau menceritakan betapa sulitnya menghidupi ketujuh anaknya. Ditambah lagi, suami yang menjadi penopang ekonomi keluarga lebih dulu dipanggil Yang Maha Menguasai Hidup. Jadilah nenek sebagai single parent dari ketujuh buah hatinya yang masih kecil. Beliau bekerja apa saja. Buruh tani, penjahit baju, bahkan pengumpul barang bekas. Beliau rela tidak makan asalkan perut anak-anaknya tidak berbunyi minta diisi. Rekaman hidup yang membekas paling dalam di hati beliau adalah saat beliau sakit parah hingga harus melakukan perawatan lima bulan di rumah sakit. Jika waktu itu teknologi kedokteran sudah secanggih sekarang, penyakit beliau bisa dinamakan kanker rahim. Ia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dirumah. Otomatis yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Pak Muklas, anak sulung beliau. Pekerjaan Pak Muklas saat itu hanya sebagai guru bantu di pelosok desa. Tiap usai mengajar Pak Muklas menemani nenek Imah di Rumah Sakit, malamnya pulang ke rumah menengok adik-adiknya, dan berlangsung hingga nenek Imah melakukan operasi pengangkatan rahim. Kata beliau, ia berhutang banyak kepada anak-anaknya yang tidak pernah mengeluh tentang sulitnya hidup. Juga kepada sanak saudara dan tetangga yang saat itu membantu biaya pengobatannya. Meskipun hanya makangaplek sekali sehari,walaupun rumah hanya terbuat dari gedhek, tetapi seluruh anak-anaknya kini telah sukses dengan pekerjaannya masing-masing.

Aku merenungkan kata-kata nenek Imah, semakin banyak kita belajar, bukannya semakin pintar, namun justru kita merasa semakin bodoh. Karena ternyata masih banyak hal yang belum kita ketahui, dengan begitu menimba ilmu tidak akan pernah membosankan. Ilmu dirasa tidak pernah cukup untuk dijelajahi. Aku teringat sebuah ayat  tentang luasnya ilmu Allah, Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) ( Q.S Al Kahfi [18] : 109). Subhanallah…

Tanpa ilmu, kita tidak akan pernah mengenal siapa diri kita, siapa Allah Azza Wa Jalla, dan bagaimana kita akan menjalani kehidupan yang kekal dan abadi selanjutnya. Hidup terlalu monoton tanpa ilmu. Ketika rambut sudah beruban, kaki tidak lagi kuat untuk menopang tubuh, ingatan sudah tidak setajam dahulu, ilmu adalah salah satu penasehat terbaik dari berbagai masalah yang kita hadapi. Orang berilmu tidak mudah menyalahkan keadaan, tetapi ia akan menghadapi tantangan.  Orang berilmu seperti kapal dan nelayan di lautan. Nelayan dapat mengemudikan kapal menuju tempat yang di tuju, tanpa terpengaruh oleh arus. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu seperti kapal tanpa nelayan di permukaan laut, terombang-ambing ombak, dan tanpa tujuan.

Saat cerita ini kutulis, nenek Imah telah berpulang kepada Rabb-nya. Semasa hidupnya, beliau telah mempersiapkan kematiannya dengan mendekatkan diri kepada Allah. Seperti kata nenek Imah, apalah arti harta yang melimpah jika yang dibawanya di liang lahat cukuplah kain kafan  dan amal-amal yang akan menemani. Insya Allah nenek Imah sudah mempersiapkannya. Jauh di negeri Sakura, aku sedang menyelesaikan Tesisku dalam bidang Disaster Management. Aku telah menyandang gelar sarjana Geologi dan tidak lama setelah itu pengumuman beasiswa S2-ku keluar. Aku tidak pernah berani bermimpi untuk kuliah di luar negeri seperti saat ini. Namun aku berani bermimpi untuk terus berani belajar. Belajar tentang apapun. Belajar untuk bersiap dengan kematian, belajar dalam menuntut ilmu dan memaknai hidup, belajar dari kesalahan, belajar dari nenek Imah, Cindy, dan wanita-wanita sederhana yang memaknai hidup sebagai proses untuk belajar.

karya Ilfatul Amanah
ketua Umum IMM Komisariat saintek UM

One Response so far.

Leave a Reply